Senin, 12 September 2011

Dibuatkan siring


HALAMAN RUMAHKU DISIRING

Aku kaget ketika aku pulang sekolah di sore hari tanggal 8 September 2011, kulihat tanaman kebun di muka rumahku tidak ada lagi. Padahal beberapa bulan lagi panen. Oh, rupanya halaman rumahku mau disiring memakai batu bronjong. Soalnya, hampir setiap tahun halaman rumah kami berkurang karena rumbih (erosi).
Untung ayah dan ibuku sempat memetik sedikit pucuk daun singkong. Sedangkan umbinya masih tidak ada. Ada tapi kecil-kecil seperti telunjuk jari. Beberapa tanaman seperti terong, tomat dan lombok terpaksa harus dipindahkan ke samping rumah.
Kata orang tuaku, biarlah belum sempat memetik hasil kebunnya, yang penting jalanan dihalaman rumah baik kembali. Kalau  jalan di halaman rumah sudah diperbaiki, aku nantinya dapat belajar bersepeda. Kamipun nantinya dapat bermain lagi di halaman rumah sendiri tanpa harus ke jalan raya.



Kulihat beberapa pekerja bekerja membuat lubang yang panjang. Banyak sekali jumlahnya. Di lubang itu nantinya akan dimasukkan batu yang besar-besar. Aku juga tidak tahu sebesar apa nanti batunya. Mudah-mudahan halaman rumah kami yang berhadapan dengan tepi sungai tidak lagi rumbih (terkena erosi). Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin.

Ziarah ke kubur nenek


Pergi  ke  rantau
Sehari setelah lebaran kami pergi ke Rantau. Sebenarnya hampir setiap tahun keluarga kakek kesana untuk berziarah kubur. Sebab, di kota Rantau itulah, tepatnya lagi di desa Gadung, nenek dan datu-datuku dari pihak ayah dikuburkan. Sedangkan kakek, nenek dan datu-datuku dari pihak ibu berkubur di Amuntai.
Ayah tidak jadi pergi ke rantau. Sebab ayah sakit. Akhirnya aku dan ibulah yang ikut serta. Kakak dan adikku juga tidak ikut.
Kurang lebih jam 08.00 pagi mobil kami berangkat. Kami pergi memakai 2 buah  mobil. Di mobil aku tidak lagi muntah. Sebab aku sudah terbiasa pulang pergi menggunakan mobil bila ke sekolah.
Jalanan yang kami lalui penuh sesak dengan kenderaan mobil dan sepeda motor. Panjang sekali macetnya. Begitu pula pada saat kami pulang. Mobil dan sepeda motor para pemudik tetap memenuhi jalanan. Biasanya, sebelum ashar kami sudah sampai di rumah kembali. Tapi karena jalanan macet, kami baru sampai ke Amuntai menjelang waktu shalat isya.


Sesampainya dirumah, adikku senang sekali melihat aku dan ibu datang. Kata  ayah, adikku tidak rewel ditinggalkan pergi. Pada ayah aku bercerita tentang perjalanan tersebut. Termasuk ketika aku berfoto di depan mesjid kota Rantau yang baru. Lihatlah gayaku…..

Shalat 'ied fitri


Shalat  ‘iedul fitri  di mesjid
Tahun ini kata ayah lebarannya tidak serempak. Karena ada yang lebih dahulu melaksanakannya. Ada yang berlebaran pada hari  Selasa, ada pula yang merayakannya pada hari Rabu. Aku sendiri mengikuti ayah dan ibu yang berlebaran pada hari Rabu. Kata ayah, kita harus mengikuti apa yang diputuskan oleh ulil amri atau pemerintah.
Tahun ini genap berpuasa 30 hari. Karena tidak lagi berpuasa, aku dapat makan dan minum lagi di siang hari. Senang rasanya bisa merayakan lebaran.
Pagi-pagi sekali aku sudah dibangunkan oleh ayah. Setelah shalat subuh aku kemudian mandi sunat hari raya. Karena shalat ‘Ied di Mesjid dilaksanakan pada pukul 07.00, maka kami jam setengah tujuh kami sudah makan.
Selesai makan aku dan ayah langsung pergi ke masjid. Sedangkan ibu, kakak dan adikku tidak shalat di mesjid, tetapi shalat ‘ied nya di langgar dekat rumah.
Sepulang shalat aku dan ayah langsung menuju ke rumah kakek. Didekat rumah kakek  sudah banyak orang  berjejer  untuk bersalam-salaman. Tahun lalunya juga begitu. Ayah dan akupun ikut juga bersalaman-salaman. Saling memaafkan.

Tidak lama menunggu di rumah kakek, kemudian ibu, kakak dan adikku, serta acil dan sepupu-sepupuku datang berbarengan dari mesjid. Kami pun langsung bermaaf-maafan. Kakek dan nenek duduk dikursi kemudian yang lainnya berkeliling menyalami kakek dan nenek.
Aduhai senang sekali lebaran kali ini. Di rumah kakek banyak sekali kue dan makanan. Aku tidak tahu nama-namanya. Banyak sekali jenisnya. Tapi yang jelas enak-enak, lho.
Warga disekitar rumah juga banyak yang ke rumah kakek. Sebabnya, kata ayah, karena kakek termasuk tetuha di kampung.

Malam Takbiran


MALAM TAKBIRAN
Puasa telah berakhir.  Malam tadi tidak ada lagi orang yang shalat tarawih. Kulihat ayah sibuk menakar beras untuk membayar fitrah. Kata ayah, beras fitrah itu akan diserahkan kepada fakir miskin yang ada didekat rumah.
Selesai diniatkan oleh ayah, kulihat ibu dan kakaklah yang mengantarkannya ke orang yang dianggap layak menerimanya. Setelah itu, ayah, aku dan adikku yang bernama Adzkia Amira cepat-cepat pergi berjalan kaki ke rumah kakek. Jaraknya Cuma sekitar 100 meter.
Di rumah kakek,  sepupu-sepupuku yang datang dari jauh juga ada. Dari Paringin, dari Tanjung dan dari Banjarbaru. Hanya yang dari Banjarmasin berhalangan datang. Ramai sekali jadinya rumah kakek. Kalau dihitung, jumlah cucu kakek semuanya, termasuk aku, sampai sekarang berjumlah 16 orang.
Dari rumah kakek terdengar suara orang bertakbiran. Tapi suaranya kalah nyaring dengan bunyi suara petasan dan kembang api. Di jalan orang penuh berlalu lalang. Semuanya kelihatan bergembira.
Kami tidak lama di rumah kakek, sebab besok kami tentunya ke sini lagi. Kulihat sepupuku ada yang pergi ke pusat kota tapi ada juga yang memilih tinggal dirumah saja. Akupun tidak pergi kemana-mana, sebab dari rumah kakek kami langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, ibuku sudah menanti di beranda (ambin). Kamipun duduk menyaksikan meriahnya pesta kembang api. Kami sangat jelas sekali menyaksikannya, sebab rumah kami berhadapan langsung dengan tempat pesta kembang api tersebut, hanya dipisahkan oleh aliran sungai. Dari beranda rumah juga dapat aku lihat banyaknya orang yang berlalu lalang dijembatan menuju ke pusat keramaian.
Pokoknya malam takbiran sangat meriah sekali. Langit tampak berwarna warni. Merah, kuning, hijau dengan berbagai bentuk percikan dari petasan dan kembang api.
Selamat hari raya, mohon maaf  lahir dan bathin.

Melihat Tanglong


MELIHAT  TANGLONG
Teman-teman sepermainanku pada ramai membicarakan tentang acara “Tanglong” pada malam 21 ramadhan besok. Sepupu-sepupuku yang kebetulan datang diacara mahaul nenek malam tadi juga senang sekali. Sebab malam besoknya dapat pula melihat acara tersebut.
Kata ayah, acara tanglong tersebut  selalu dilaksanakan setiap tahun pada malam 21 ramadhan (malam salikur). Aku bertanya pada ayah apa maksudnya tanglong itu. Ayahpun menjelaskannya  padaku. Kata ayah, tanglong itu adalah semacam arak-arakan. Adapun yang diarak adalah simbol-simbol yang berhubungan dengan syi’ar agama Islam. Seperti bentuk ka’bah, goa hira, onta, mushaf al-Qur’an dan lain-lainnya.
Akupun ingin sekali menyaksikannya. Belum lagi selesai shalat tarawih dilanggar kami sudah banyak orang yang pergi ingin melihatnya. Selesai tarawih, ayah tiba-tiba mengajakku untuk melihatnya sebentar. Cepat aku mengambil baju jaket agar tidak kedinginan atau masuk angin.
Seperti tahun lalu, ayah tidak mau berdesak-desakan di jembatan ataupun ditempat acara. Ayah selalu mengajakku untuk melihatnya dari tepi jalan didekat rumah kakek ataupun di tepi jembatan. Sebab dari situ kami juga dapat melihat arakan-arakan tanglong tersebut. Kata ayahku, yang penting aman dan dapat melihatnya dengan tidak berdesak-desakan.
Kulihat ayah berkali-kali memotret setiap kelompok tanglong. Tapi hasilnya ternyata gelap karena malam hari. Tapi aku cukup merasa puas. Tahun depan akupun ingin  melihatnya lagi.